Kekuasaan adalah dambaan manusia. Ia adalah puncak yang tak pernah sepi dari para pendaki. Setiap orang berlomba mencapainya dengan cara mereka sendiri: cara yang baik, cara yang kotor, hingga "cara yang tak biasa" — cara yang tak bisa dijelaskan oleh akal sehat, namun nyata adanya.
Tubagus Satya Firdaus tahu betul tentang cara yang terakhir itu. Sebagai seorang agen BAKIN, tugasnya bukan hanya sekadar mengurus rahasia negara yang menjadi aib bagi publik dan dunia, tetapi juga menjaga agar "cara tak biasa" itu tidak turut disalahgunakan begitu saja. Semua ia lakukan demi negara dan bangsa yang telah ia sumpah setia, meski ia kutuk dalam hati.
Malam itu, sebuah mobil Kijang Super berwarna hitam melaju pelan di jalanan sekitar persawahan Jawa Timur. Cahaya bulan membalut ladang dengan lembut, sementara suara hewan-hewan sawah bernyanyi di bawah melodi hujan yang syahdu. Sesekali, suara guntur menggelegar dari kejauhan, memeriahkan orkestra alam yang merdu namun penuh makna.
Di balik kemudi, Satya terus menatap lurus ke depan. Matanya terkunci ke jalanan dengan tajam, sedangkan pikirannya penuh hingga tak tersisa ruang. Hingga suara menggerutu dari rekannya, Nardi, hadir untuk memecah keheningan di dalam kendaraan tersebut.
"Aku masih tak percaya mereka masih ingin mempertahankan Harto sebagai presiden," gumam Nardi, tampaknya ia ingin mengajak Satya untuk kembali membahas tentang keadaan politik negeri ini.
Tetapi Satya tak menoleh. Pandangannya tetap lurus menembus gelap di depan, mewaspadai jalanan sawah yang nyaris tanpa penerangan. "Suka atau tidak suka," respon Satya singkat, "nampaknya kita sedang berperang dengan bangsa kita sendiri."
Nardi mendecak, suaranya penuh getir. "Kau pikir aku suka? Sialan, aku bahkan tak percaya apa yang para dukun itu lakukan."
Satya menarik napas dalam-dalam untuk meringankan pikirannya. "Kupikir kita sudah lama bermain di ranah ini, tapi tak kusangka Angkatan Darat pun malah ikut bermain dukun-dukunan juga."
"Itulah masalahnya," sahut Nardi lirih. "Padahal kita ini BAKIN, tapi ujung-ujungnya tetap harus nurut pada atasan. Dan atasan kita … yah, Presiden sendiri."
Satya tersenyum tipis, "Itulah alasannya kita disebut Black Ops, Nardi."
Ucapan itu membuat Nardi terdiam. Mereka saat ini beroperasi sebagai agen operasi hitam, tidak tercatat dalam struktur resmi, tidak diakui bahkan oleh afiliasi mereka sendiri. Semua demi satu tujuan: menjaga nasib bangsa dari ancaman, di mana pun ia berada dan dari mana pun ia datang. Ancaman yang tak kasatmata, jauh dari jangkauan indera masyarakat, dan tak bisa dijelaskan dengan logika biasa.
Tujuan mereka malam itu adalah bertemu dengan seorang afiliator dari organisasi lain. Organisasi yang dikenal hanya dalam bisik-bisik di lingkaran intelijen, yang kabarnya mampu menampung sesuatu yang tak layak berada di ranah kenormalan baik itu entitas maupun objek, yang kabarnya juga sangat dicari oleh lawan-lawan mereka. Bukan hanya lawan politik, tetapi juga mereka yang bermain di ranah esoterik dan taumaturgis demi kekuasaan.
Seolah mengerti, sesaat setelah melihat tiga siluet samar manusia di kegelapan, Nardi dan Satya langsung mengubah postur mereka menjadi siaga. Hujan rintik-rintik kemudian tiba, sementara nyanyian hewan sawah tetap setia menjadi musik latar yang memastikan tidak ada kesunyian yang lewat di antara mereka. Udara malam terasa berat dan dingin, seperti menyimpan sesuatu yang enggan untuk diungkapkan.
Perlahan, tiga siluet itu mendekat seirama. Sesampainya mereka di samping mobil dengan barisan yang sempurna, salah satunya kemudian mengetuk jendela pintu untuk memulai interaksi. Satya memutar engkol jendela untuk menyambut sosok di luar mobilnya. Seketika, aroma tanah dan padi basah bercampur dengan sesuatu yang asing, seperti bau logam atau dupa yang terbakar.
Suara sosok yang mengetuk itu berat dan dalam, nampaknya seorang pria paruh baya. "Nampaknya cuaca masih buruk dan malam tak biasa," ucapnya.
"Saya pikir demikian," jawab Satya, matanya menatap sosok yang masih diselimuti kegelapan. "Mungkin saja hujan akan turun lebih deras besok, dan malam menjadi semakin gelap lagi."
Pria itu mengangguk pelan, mengonfirmasi sandi kata yang telah mereka sepakati. "Kami dari Yayasan. Anda tahu kenapa kami datang. Tapi saya harus bertanya: mengapa kita bertemu di antah berantah sementara lokasi sebenarnya masih jauh?"
Satya menjawab dengan tenang, "Tak bisa membiarkan cicak berjalan dengan buntut yang utuh. Butuh tumpangan?"
Pria itu menoleh ke arah kedua rekannya dan mengisyaratkan mereka untuk memasuki mobil. Mereka semua langsung duduk di kursi penumpang tanpa suara. Entah mengapa, bagi Nardi, melihat mereka duduk di belakang membuatnya merasa waswas. Namun Satya tetap bersikap tenang, ia ingin menunjukkan bahwa mereka berdua tak ingin ada rasa curiga. Terlepas dari kenyataan bahwa BAKIN tak sepenuhnya percaya kepada Yayasan, di antara banyaknya musuh di dalam, lebih baik menambah teman dari luar ketimbang membiarkan musuh juga datang dari luar.
Orang-orang itu melepas penutup kepala mereka yang menyerupai tudung. Dua pria dan satu wanita. Dalam cahaya yang samar, fitur wajah mereka mulai terlihat, ketiganya berkulit kaukasia, duduk diam dan dingin di kursi penumpang, seperti patung yang menunggu aba-aba.
"Nampaknya saya tidak sopan. Mari kita saling memperkenalkan diri," ucap Satya, suaranya tenang.
Nardi menoleh, kaget. Ia merasa belum waktunya mencairkan suasana. Namun Satya hanya memberi isyarat halus, menunjukkan ketidaknyamanannya melihat para penumpang mereka membisu seperti bayangan. Nardi tak membantah, hanya menghela napas pelan, seolah menyetujui.
"Nama saya Satya, dan di sebelah saya adalah Nardi, rekan saya," lanjut Satya.
Pria paruh baya di kursi belakang membalas dengan suara berat, "Saya Cain."
Disusul oleh pria muda di sampingnya, "Carolino." Kemudian wanita yang duduk di sisi jendela menunduk sedikit dan berkata, "Perkenalkan, saya Corline." Suaranya lembut, mengejutkan Satya. Nada bicaranya jauh lebih muda dari perkiraannya.
Seolah seperti es yang mencair, perasaan berat dan dingin di antara dua afiliasi berbeda itu perlahan menghilang. Nardi yang sejak awal tampak waswas kini mulai mengendurkan bahunya. Ia bahkan sempat melontarkan candaan.
"Negeri ini… kadang rasanya seperti wayang yang kehilangan dalang," katanya sambil menyandarkan tubuh ke jok mobil. "Semua sibuk berebut kendali, tapi tak ada yang tahu ke mana arah lakon."
Carolino menanggapi dengan senyum tipis. "Setidaknya kalian masih punya lakon. Di tempat kami, kadang kami hanya jadi bayangan dari cerita orang lain."
Cain mengangguk pelan, menambahkan, "Kami tidak di sini untuk ikut campur. Tapi jika kekacauan ini menyentuh garis yang kami jaga, maka kami tak punya pilihan."
Satya menyimak dengan tenang. Ia tahu Yayasan tidak pernah benar-benar berpihak. Mereka itu menjaga keseimbangan, bukannya keadilan. Tapi malam ini mereka ada di sini dan baginya itu sudah cukup.
Corline menatap keluar jendela, ke arah ladang yang basah diterpa hujan. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku tak tahu banyak tentang politik kalian. Tapi … aku tahu rasa takut. Aku tahu bagaimana rasanya melihat tanah kelahiran perlahan berubah menjadi sesuatu yang asing."
Satya menoleh, matanya lembut. "Kami juga takut, nona. Tapi kami tak punya kemewahan untuk mundur. Kami hanya bisa berjalan, meski jalanannya gelap."
Corline mengangguk, lalu menatap Satya. "Kalian menghubungi kami. Itu berarti kalian percaya, meski sedikit."
"Percaya," gumam Satya, "atau terpaksa berharap."
Tiba-tiba Cain bersuara, memecah suasana yang mulai melankolis. "Satya," katanya tegas, "di mana dokumen yang kalian janjikan?"
Satya menoleh ke arah dashboard lalu membuka laci kecil di bawahnya. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna coklat tua, terbungkus plastik anti-air. "Di dalamnya adalah apa yang kalian butuhkan," ujar Satya sambil menyerahkan map cokelat tua ke Cain. "Hanya salinan dari dokumen asli yang telah dicetak ulang dengan logo kalian."
Cain menerima map itu tanpa ekspresi lalu mengangguk pelan. Ia memberi isyarat kepada Corline dan Carolino untuk mulai memeriksa isinya. Tanpa berkata apa pun, Corline mengeluarkan sebuah perangkat pencahayaan kecil dari saku jaketnya, sebuah lampu portabel yang memancarkan spektrum cahaya merah. Cahaya itu dirancang khusus untuk kondisi gelap, tidak menyilaukan mata, namun cukup untuk menyoroti detail dokumen dengan jelas tanpa mengganggu penglihatan di kondisi gelap.
Cahaya merah itu menyinari interior mobil, menciptakan bayangan aneh di wajah mereka. Carolino membuka map perlahan, sementara Corline mulai membaca halaman demi halaman dengan seksama. Di kursi depan, Satya tetap fokus pada jalanan yang semakin licin oleh hujan. Sesekali, Nardi menoleh ke belakang, memperhatikan kesibukan para penumpang mereka dengan rasa ingin tahu yang tak bisa disembunyikan.
"Semua sesuai dengan yang dijanjikan," ujar Carolino setelah beberapa menit. "Informasi mengenai individu yang diawasi, objek anomalus produksinya, dan target kita saat ini. Nampaknya kami bisa langsung mengonfirmasi ke tim penahanan."
Satya menoleh sebentar, matanya tajam namun tenang. "Barang telah diserahkan. Sisanya bagi kami adalah melupakan seutuhnya. Dengan begini, kepentingan kami dan kalian terpenuhi."
Carolino menyela, nada suaranya sedikit menggugat. "Tapi … bukankah keuntungan lebih besar ada di pihak kami?"
Nardi menjawab tanpa ragu. "Bagi orang putus asa seperti kami, keuntungan adalah urusan nanti. Kami hanya ingin menghilangkan kerugian sebisa mungkin."
Carolino terdiam. Jawaban itu seperti tamparan halus, mengingatkan bahwa tidak semua pihak bermain untuk menang dan beberapa hanya berusaha agar semuanya tidak hancur.
Sesaat kemudian, cahaya redup mulai terlihat dari kejauhan. Di depan mereka, pedesaan menyambut dengan lampu-lampu kuning yang temaram, memantul di genangan air hujan. Nardi menghela napas lega, seolah akhirnya menemukan peradaban setelah perjalanan panjang di tengah gelap dan sunyi.
Namun, di pertigaan jalan, Satya berbelok ke arah pinggiran desa. Mobil kembali masuk ke jalur sempit yang dikelilingi ladang dan pohon-pohon tua. Meski gelap, beberapa titik jalanan diterangi oleh lampu petromak yang tergantung di tiang bambu, memberikan cahaya seadanya.
"Kupikir kita akan menuju desa," tanya Cain dari kursi belakang, nada suaranya datar namun penuh rasa ingin tahu.
"Tidak," jawab Satya singkat. "Kita akan menuju pinggiran desa. Itu rumah almarhum individu yang diawasi berada."
Cain terkekeh pelan, nada suaranya menyiratkan rasa sinisme. "Hah, berarti kita tak perlu repot khawatir soal suara 'konstruksi' yang akan kami timbulkan."
Nardi menoleh, tersenyum getir. "Haha … Lagipula, alam tampaknya berpihak pada kita. Hujan semakin deras, dan guntur ikut menyambut."
Jalanan perlahan menjadi semakin tidak kondusif. Yang semula beraspal, berubah menjadi kerikil, lalu tanah basah yang licin dan bergelombang. Semakin mereka masuk ke wilayah pinggiran desa, hamparan sawah berganti menjadi deretan pohon-pohon tinggi yang berdiri diam seperti penjaga malam. Suara nyanyian hewan sawah menghilang, seolah enggan ikut bernyanyi ke dalam gelapnya hutan.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah tua dengan pencahayaan redup. Lampu minyak yang tergantung di teras berayun pelan tertiup angin, memantulkan cahaya kuning yang nyaris tak mampu menembus kabut hujan. “Kita sudah sampai,” ucap Satya sambil mematikan mesin mobil.
Semua orang keluar dari kendaraan itu, yang kemudian disambut oleh udara hutan yang basah dan aroma tanah yang pekat. Cain segera mengambil alih koordinasi. “Sesuai prosedur, kita hanya akan masuk ke rumah satu per satu untuk mengonfirmasi keberadaan objek,” jelasnya kepada Carolino dan Corline. Keduanya mengangguk, lalu mendekati pintu masuk rumah yang sudah reyot dan lapuk dimakan usia. Carolino melirik Corline dan tersenyum kecil.
“Ladies first,” ucapnya ringan.
Corline hanya mengangguk kecil, menanggapi candaan itu dengan tenang. Ia masuk terlebih dahulu, pistol saku telah disiagakan, matanya menyapu setiap sudut ruangan yang gelap dan berdebu. Setelah beberapa menit, ia keluar dan memberi isyarat aman. Cain masuk berikutnya, melakukan gestur serupa. Begitu Carolino menyusul dan keluar dari rumah, mereka bertiga berkumpul di dekat Cain yang masih bersiaga.
“Status,” tanya Cain singkat.
“Lapor, ada kursi anak-anak dari kayu ek,” jawab Corline.
“Lapor, aku menemukan kursi sekolah,” timpal Carolino.
Cain mengernyit, lalu tersenyum tipis. Inkonsistensi laporan itu cukup untuk menyimpulkan bahwa objek yang akan diserahkan telah terkonfirmasi keberadaannya.
Ia menoleh ke arah Satya dan Nardi yang tengah bersandar di badan mobil, menikmati jeda di tengah udara dingin dan aroma hutan.
“Barang diterima. Senang berbisnis dengan Anda,” ucap Cain.
Satya hanya mengangguk perlahan, bersiap masuk kembali ke dalam mobil. Namun, sebuah siul dari Cain membuatnya menoleh. Cain melemparkan sesuatu ke arahnya. Satya menangkapnya dengan refleks. Sebuah bungkus kretek Jawa, merek lokal yang sudah mulai langka, salah satu merk favoritnya.
Cain menyeringai, lalu mengeluarkan bungkus serupa dari saku jaketnya. Ia mengangkatnya sedikit, memperlihatkan bahwa ia juga membawa merek yang sama.
“Aku sempat lihat bungkus kosongnya di dashboard saat kau ambil dokumen,” katanya sambil menyalakan sebatang dengan korek api kecil. “Tanpa filter adalah yang terbaik, apalagi di kondisi begini. Kita mungkin hanya bertemu sebentar, tapi berusahalah agar aku tetap bisa menikmati kretek merek itu. Jujur, saat pertama kali datang ke Indonesia, aku jatuh cinta dengan rasa dan aromanya.”
Satya tersenyum tipis, lalu menyimpan bungkus itu ke dalam saku. “Kalau begitu, anggap saja itu oleh-oleh dari medan operasi.” Cain kemudian mengangguk setuju, lalu menghembuskan asap ke udara malam yang dingin.
Satya dan Nardi memasuki mobil. Saat Satya menyalakan mesin, Nardi menyela, “Hei, itu merek yang biasa, kan? Jangan lupa berbagi denganku!”
Satya menjawab sesaat setelah mesin menyala, “Tenang saja, kita akan bagi rata nanti.”
Perlahan, mobil mundur meninggalkan para agen lapangan Yayasan yang tampaknya mulai menghubungi rekan mereka yang lain. Sesaat setelah mereka keluar dari hutan, suara deru berisik dari mesin benda terbang terdengar. Nardi terkejut bukan main melihat siluetnya terbang rendah menuju lokasi sebelumnya.
“Gila! Aku dengar itu baru sekedar purwarupa saja di Amerika!” ucapnya.
Satya hanya menyeletuk, “Itulah kenapa lebih menguntungkan untuk tidak cari masalah dengan mereka.”
Nardi terdiam. Perlahan, mobil kembali berjalan melewati desa. Jalanan mulai kondusif dan suasana kembali normal. Mereka menghela napas lega, satu urusan telah selesai. Namun, masih ada langkah terakhir.
Mobil terus melaju hingga menuju jalan raya di luar desa. Sesaat sebelum memasuki jalan utama, Kijang Super itu menepi. Satya dan Nardi keluar, mereka kemudian berjalan menuju hutan kecil yang gelap meninggalkan mobil di belakang mereka. Sesampainya di tempat yang mereka rasa sudah sesuai, di tempat di mana mata tak lagi mampu melihat jelas, Nardi menyerahkan beberapa tumpuk dokumen kepada Satya. Tanpa aba-aba dan tanpa isyarat, Satya mulai membakar satu per satu map berisi dokumen itu. Ia meletakkannya di tanah, membiarkan api melahap dan merambat di setiap serat kertas.
“Sekarang kita tinggal melupakan sepenuhnya,” ucap Satya yang sedang berjongkok, memperhatikan kertas-kertas yang terbakar.
Tiba-tiba, Nardi tersentak melihat kilatan cahaya yang menerangi pandangan sesaat sebelum kembali gelap, menyisakan api dari kertas-kertas sebagai satu-satunya sumber cahaya.
“Sialan guntur itu, ada kilatan tapi tidak ada suara,” gumamnya.
Satya menoleh dan berkata, “Itu tandanya gunturnya sangat jauh.”
Nardi kembali menatap langit, seolah memahami bahwa Satya juga sedang memberi isyarat selayaknya guntur tersebut, mungkin cahayanya telah terlihat sesaat, namun suaranya masih merambat, datang dengan kecepatan pasti.
“Aku tak yakin apa yang akan menanti ke depannya ….” ucap Nardi pelan.
Satya berdiri dari jongkoknya dan menepuk pundak Nardi. “Walau begitu, kita masih harus melakukan apa yang perlu kita lakukan.”
Perlahan, Satya berjalan dalam gelap. Nardi menyusul, sempat menoleh sebentar ke arah cahaya api yang berasal dari dokumen-dokumen yang terbakar, sebelum akhirnya ikut bersama Satya meninggalkan cahaya menuju kegelapan.
Di pagi hari, kota Banyuwangi pasca hujan deras semalam terasa lebih dingin dari biasanya. Orang-orang memutuskan untuk memulai hari mereka dengan secangkir kopi atau teh hangat di warung kopi yang baru buka.
“Hei, Mbok, kau dengar? Orang-orang dekat desa gunung katanya mendengar suara berisik luar biasa,” ujar seorang pelanggan.
Si pemilik warung merespons datar, “Ah, masa sih? Karena hujan kali. Semalam itu emang gak biasa hujannya.”
Namun, si pelanggan menyela, “Hei, kau tahu rumah si dukun itu? Katanya ada cahaya aneh turun dari langit ke situ! Dan itu dibarengi suara berisik tersebut!”
“Ah, jangan musyrik kamu, masih percaya begituan,” ucap si pemilik warung yang tak percaya.
“Eh, dibilangin, tuh almarhum orang pintar banget. Sayang dia sudah tiada. Kalau dia ada, saya ajak kamu biar lihat gimana saktinya dia,” balas si pelanggan.
Satya dan Nardi hanya terdiam menikmati sarapan mereka. Meskipun tampak santai, keduanya tetap menyerap setiap informasi di sekitar dengan seksama. Hingga akhirnya fokus Nardi teralih ke berita pagi di televisi yang menyiarkan siaran TVRI.
“Selamat pagi, pemirsa. Terlepas dari hari yang masih muda ini, kelompok mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta nampaknya mulai menyerukan aspirasi di depan kampus mereka masing-masing. Aksi ini dilakukan sebagai respons atas krisis moneter yang semakin buruk, sejalan dengan pemerintahan Presiden Suharto yang dianggap mulai tidak becus dalam menangani situasi ….”
Satya menatap layar televisi dengan wajah tenang, sementara Nardi menghela napas panjang. Mereka saling berpandangan sejenak, seolah memahami bahwa tugas mereka hanyalah satu bagian kecil dari pusaran besar yang sedang mengguncang negeri.
Di luar, langit Banyuwangi mulai cerah, matahari perlahan menembus sisa kabut hujan. Namun bagi Satya dan Nardi, bayangan malam sebelumnya tetap membekas, sebuah tanda bahwa ancaman tak kasatmata masih berkelindan di balik hiruk-pikuk politik, kekuasaan, dan krisis.
Mereka tahu, badai yang sesungguhnya belum reda. Dan ketika suara rakyat semakin lantang, serta bayangan gelap terus bergerak diam-diam, tugas mereka hanyalah satu: tetap berdiri di garis samar itu, menjaga agar negeri tidak runtuh oleh hal-hal yang tak pernah terlihat sebelumnya.
Dengan secangkir kopi yang mulai dingin, keduanya kembali tenggelam dalam diam. Diam yang bukan sekadar istirahat, melainkan persiapan untuk langkah berikutnya, langkah yang mungkin akan membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan.



PENTING! Semua konten yang ada disini bersifat TIDAK RESMI atau UNOFFICIAL terkait konten SCP Wiki ID. Sandbox ini digunakan untuk para anggota wiki bereksperimen atau menyimpan tulisan saja, bukan untuk dijadikan acuan utama terkait SCP-ID maupun konten lainnya yang ada di Wiki ID.
